بسم الله الرحمن الرحيم
'Aqidah Islam (1)
'Aqidah ibarat pondasi dalam sebuah banguan. Bangunan agar kuat
harus diperkuat pondasinya, jika tidak kuat, maka bangunan yang didirikan di
atasnya mudah roboh. Inilah sebabnya mengapa kita harus memperkuat 'aqidah
Islam.
Ta'rif 'Aqidah Islam
'Aqidah secara bahasa berasal dari kata 'aqd yang berarti
mempererat, mengokohkan dan mengikat dengan kuat. Secara istilah 'aqidah adalah
keyakinan yang kuat yang tidak dimasuki oleh keraguan. Dengan demikian, Aqidah
Islam berarti keimanan yang kuat kepada Allah Ta'ala dengan melaksanakan kewajiban berupa tauhid dan taat
kepada-Nya, demikian juga beriman kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada qadar serta mengimani semua yang sudah
shahih tentang prinsip-prinsip agama (ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib,
berita yang disebutkan dalam Al Qur'an maupun As Sunnah baik 'ilmiyyah (sebagai
pengetahuan yang harus diyakini) maupun amaliyyah (pengetahuan yang harus
diamalkan).
Nama lain 'Aqidah Islam
Nama lain 'Aqidah Islam menurut Ahlus Sunnah di antaranya adalah Al
I'tiqad, Al 'Aqaa'id, At Tauhid, As Sunnah, Ushuluddin, Ushuluddiyaanah, Al
Fiqhul Akbar dan Asy Syarii'ah. Inilah beberapa nama yang paling terkenal di
kalangan Ahlus Sunnah. Adapun penamaan 'Aqidah Islam dengan ilmu kalam,
filsafat, tashawwuf dan teologi tidaklah dibenarkan, karena perbedaan yang
mencolok dalam ilmu-ilmu tersebut dengan 'Aqidah Islam. Dalam ilmu kalam dan
filsafat, misalnya, yang dijadikan sandaran adalah akal bukan wahyu.
Sedangkan dalam ilmu tashawwuf di antara sandarannya adalah kasyf
(adanya penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib). Adapun yang dijadikan
sandaran dalam 'Aqidah Islam adalah Al Qur'an, As Sunnah yang shahih dan ijma'
salafush shalih (generasi pertama Islam). Di samping itu, jika akal dijadikan
sandaran untuk menetapkan 'aqidah hasilnya hanyalah zhann (perkiraan) yang bisa
benar dan bisa salah karena keterbatasannya dan tidak mampu menjangkau yang
ghaib. Lalu bagaimana jika perkiraannya salah, maka sama saja ia telah berkata
tentang Allah Ta'ala tanpa ilmu, dan yang demikian merupakan dosa yang sangat
besar. Allah Ta'ala berfirman:
"……dan (mengharamkan) mengada-ada terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui." (Terj. Al A'raaf: 33)
Oleh karena itu, prinsip kita dalam masalah 'Aqidah adalah
tauqifiyyah (diam menunggu dalil).
Pentingnya mengenal 'Aqidah Islam atau 'Aqidah Ahlussunnah wal
Jama'ah secara tafsil (rinci)
Banyak orang yang mengaku dirinya Ahlussunnah wal Jama'ah, akan
tetapi dalam perjalanannya ternyata banyak menyelisihi Aqidah Ahlussunnah wal
Jama'ah. Hal ini tidak lain, karena pengenalan mereka tentang Ahlussunnah wal
Jama'ah masih bersifat mujmal (garis besar) atau tidak terperinci. Secara umum,
memang mereka mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena
tidak ada seorang muslim pun kecuali yang dijadikan acuan dalam hidupnya adalah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi sangat disayangkan,
mereka tidak mengerti lebih rinci 'Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah sehingga
banyak praktek yang dilakukan mereka ternyata bertentangan dengan 'Aqidah
Ahlussunnah wal Jama'ah. Nah, pada risalah yang singkat ini, kami akan jelaskan
lebih rinci 'Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah yang merupakan 'Aqidah salafush
shaalih terdahulu –insya Allah-.
Sumber pengambilan 'Aqidah Ahlussunnah wal
Jama'ah
1- مصدر العقيدة هو كتاب الله وسنة رسول الله صلى الله عليه
وسلم وإحماع السلف الصالخ
2- كل ما صح من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحب قبوله
وإن كان احادا
3- المرجع في فهم الكتاب والسنة هو النصوص المبينة لها وفهم
السلف الصالح ومن سار على منهجهم من الأئمة ولا يعارض ما ثبت من ذلك بمجرد
احتمالات لغوية
1. Sumber
pengambilan 'Aqidah Islam adalah kitab Allah, Sunnah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan Ijma' salafush shaalih.
2. Semua yang
shahih dari sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diterima
meskipun jalur periwayatannya Ahad.
3. Yang
dijadikan rujukan dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah adalah nash-nash yang
menerangkannya, pemahaman salafush shaalih dan pemahaman orang-orang yang
mengikuti jejak mereka di kalangan para ulama. Semua yang telah tsabit (memang
seperti itu secara bahasa) tidak bisa ditolak dengan kemungkinan-kemungkinan
lain dari sisi bahasa. (Mujmal Ushul Ahlissunah karya Dr. Nashir Al ‘Aql)
Penjelasan:
No. 1: Tentang kehujjahan Al Qur'an dan As Sunnah sudah kita ketahui
bersama, adapun tentang kehujjahan ijma' salafush shaalih adalah sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ،
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا، وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ .
"Aku wasiatkan kalian
agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan ta'at meskipun yang memerintah kalian
seorang budak Habasyah. Sesungguhnya orang yang hidup setelahku nanti akan
melihat perselisihan yang banyak, maka berpeganglah kalian dengan sunnahku dan
sunnah khulafaa'urraasyidin yang lurus; peganglah sunnah itu dan
genggamlah dengan gigi gerahammu serta jauhilah perkara yang diada-adakan
(dalam agama), karena setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid'ah dan
setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah
dan Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami' no. 2549)
Di samping itu, karena mereka hidup bersama Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam atau dekatnya masa mereka dengan masa Beliau, mereka lebih
mengetahui bagaimana perjalanan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka di
bawah tarbiyah Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga masih murni belum
tercampuri syubhat dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang seperti yang menimpa
generasi setelah mereka. Oleh karena itu, Beliau memerintahkan kita melihat dan
mengikuti mereka di saat terjadinya banyak perselisihan dan banyaknya aliran
agar dapat mengetahui sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
sesungguhnya.
No. 2: Hadits Ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Para ulama membagi hadits kepada mutawatir dan ahad
bukanlah bermaksud untuk menolak hadits, akan tetapi untuk memposisikan bahwa
hadits ini tergolong ahad dan hadits ini tergolong mutawatir karena jumlah para
perawinya. Hadits ahad jika shahih wajib diterima secara mutlak baik dalam
masalah 'Aqidah maupun hukum. Dalil diterimanya hadits ahad jika shahih banyak
sekali, di antaranya ayat berikut:
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti …" (Terj. QS. Al
Hujuraat: 6)
Dan firman Allah Ta'ala di surat At Taubah: 122.
Mafhum ayat di atas adalah bahwa jika yang datang adalah orang
yang adil, maka diterima perkataannya tanpa perlu meneliti lagi. Belum lagi di dalam
hadits, sungguh sangat banyak, bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mengirim sahabatnya seorang atau dua orang ke tempat tertentu untuk
mendakwahkan Islam dan mencukupkan diri dengannya, seperti diutusnya Mu'adz bin
Jabal ke Yaman. Kalau seandainya hal itu tidak cukup tentu Beliau akan mengirimkan
dalam jumlah banyak.
No. 3: Untuk keterangan nomor ini, kami kira cukup apa yang dikatakan
oleh Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam mukaddimah kitab tafsirnya sbb:
“Apabila ada
seseorang yang bertanya, “Apa cara terbaik dalam menafsirkan (Al Qur’an)?”
Jawab: “Sesungguhnya cara terbaik dalam hal ini adalah menafsirkan Al Qur’an
dengan (penjelasan) Al Quran, yang masih belum jelas di ayat ini mungkin
dijelaskan di ayat lain, bila kamu tidak menemukan (penjelasan di ayat lain),
maka dengan melihat As Sunnah, karena ia adalah pensyarah Al Qur’an dan
penjelasnya…dst.” Kemudian Ibnu Katsir
melanjutkan, “Bila kita tidak menemukan (penjelasannya) dalam Al Qur’an dan
As Sunnah, maka kita melihat pendapat para sahabat, karena mereka lebih tahu
tentang hal itu…dst”. Ibnu Katsir berkata lagi, “Bila kamu tidak
menemukan dalam Al Qur’an, As Sunnah juga dari para sahabat, maka dalam hal ini
para imam melihat pendapat para taabi’iin…dst.”
**********
4- أصول الدين كلها قد بينها النبي صلى الله عليه وسلم وليس
لأحد أن يحدث شيئا زاعما أنه من الدين
5- التسليم لله ولرسوله صلى الله عليه وسلم ظاهرا وباطنا
فلا يعارض شيئ من الكتاب أو السنة الصحيحة بقياس ولا ذوق ولا كشف ولا قول شيخ ولا
إمام ونحو ذلك
6- العقل الصريح موافق للنقل الصحيح ولا يتعارض قطعيان
منهما أبدا وعند توهم التعارض يقدم النقل
4. Prinsip-prinsip agama (Ushuluddin) semuanya telah diterangkan
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, tidak diperkenankan
bagi seseorang mengadakan sesuatu sambil beranggapan bahwa ia termasuk bagian
agama.
5. Tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam
baik zhahir maupun batin, sehingga tidak boleh mempertentangkan satu pun bagian
dari Al Qur'an atau As Sunnah yang shahih dengan qiyas, dzauq (perasaan), kasyf
(penyingkapan tabir rahasia), pendapat syaikh, pendapat imam dsb.
6. Akal yang benar akan selalu sama dengan nash/dalil yang shahih.
Keduanya jika qath'i (pasti) tidak akan bertentangan selama-lamanya, dan jika nampak
seperti bertentangan, maka dalil harus didahulukan. (Mujmal Ushul Ahlissunah
karya Dr. Nashir Al ‘Aql).
Penjelasan:
No. 4: Imam Malik rahimahullah berkata: "Barangsiapa yang mengada-ada dalam
Islam suatu bid'ah yang dipandangnya baik, maka sesungguhnya ia telah menyangka
bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati
risalahnya, karena Allah Ta'ala berfirman "Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu ", maka apa saja yang dahulu tidak
termasuk bagian agama, sekarang pun sama tidak termasuk bagian agama."
No. 5: Imam Muhammad bin Syihab Az Zuhriy rahimahullah berkata:
"Allah yang menganugerahkan risalah (mengutus para rasul), kewajiban rasul
adalah menyampaikan risalah, sedangkan kewajiban kita adalah tunduk
menerima." (Diriwayatkan oleh Bukhari).
Oleh karena itu, tidak boleh mempertentangkan Al Qur'an dan As
Sunah dengan qiyas, dzauq (perasaan) dsb. Bahkan qiyas tidak berlaku jika masih
ada nash. Dzauq (perasaan) dan kasyf sebagaimana telah diterangkan sebelumnya
tidak bisa dijadikan rujukan dalam menetapkan 'Aqidah; apalagi jika dipakai
untuk mempertentangkan Al Qur'an dan As Sunnah. Demikian juga tidak boleh
mempertentangkan Al Qur'an dan As Sunnah dengan perkataan ulama, imam dsb.
Yakni jika telah jelas baginya dalil, lalu ia meninggalkannya hanya karena
mengikuti pendapat ulama atau imam tersebut. Imam Syafi'i rahimahullah,
"Kaum muslim sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya suatu
sunnah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak boleh
meninggalkannya hanya karena mengikuti seseorang." (Lih. Kitab Shifat Shalat
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karya Syaikh Al Albani)
No. 6: Adanya kemungkinan bahwa akal sehat bertentangan dengan dalil sangat
mustahil sekali, hal ini dapat diketahui dengan jelas setelah anda
memperhatikan penjelasan berikut:
Pertama, Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengarahkan firman-Nya kepada mereka
yang berakal (lih. Shaad: 43).
Kedua, Allah Ta'ala mencela orang-orang yang tidak mau menggunakan
akalnya (lih. Al Mulk: 10)
Ketiga, seringnya disebutkan dalam Al Qur'an anjuran berfikir, seperti
kalimat "afalaa tatafakkaruun", "la'allakum tatafakkaruun"
dan lainnya.
Keempat, Al Qur'an dan As Sunnah mencela sikap taqlid (ikut-ikutan tanpa
ilmu), di mana hal itu dapat membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal
(lih. Al Baqarah; 170)
Kelima, Allah Ta'ala memuji orang-orang yang menggunakan akalnya (lih.
Az Zumar: 17-18)
Keenam, terbatasnya ruang lingkup yang dijangkau oleh akal dan pikiran
manusia (lih. Al Israa': 85 yang menerangkan tentang ruh), ayat ini menunjukkan
posisi akal di bawah dalil.
Masih adakah anggapan kemungkinan
bertentangan, padahal dalil secara tegas memuliakan akal dan menyuruh untuk
berfikir?!
Kritik para
ulama Islam terhadap ilmu kalam atau ilmu filsafat yang berbicara tentang
ketuhanan
Sedih rasanya hati ini, ketika filsafat dijadikan rujukan dalam
Aqidah atau sebagai materi Ushuluddin seperti yang terjadi di banyak perguruan
tinggi Islam akibatnya para mahasiswa yang lulus daripadanya memiliki
pemikiran-pemikiran yang aneh dan menyimpang bahkan ada yang menjurus kepada
kekufuran, padahal para ulama telah mengingatkan kita untuk menjauhi ilmu
tersebut.
Imam Abu Hanifah berkata: "Aku telah menjumpai para ahli
kalam. Hati mereka keras, jiwanya kasar, tidak peduli jika mereka bertentangan
dengan Al Qur'an dan As Sunnah. Mereka tidak memiliki wara' dan tidak juga
takwa."
Al Qaadhiy Abu Yusuf berkata, "Mengetahui ilmu kalam adalah
suatu kebodohan dan bodoh tentang ilmu kalam adalah sebuah pengetahuan."
Imam Ahmad berkata, "Pemilik ilmu kalam tidak akan beruntung
selamanya. Para ulama kalam itu adalah orang-orang
zindiq."
Terhadap ilmu tersebut Imam Syafi'i membuat sya'ir:
كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مُشْغِلَةٌ
إِلاَّ
الْحَدِيْثَ وَالْفِقْهَ فِى الدِّيْنِ
الْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْهِ قَالَ حَدَّثَنَا
وَمَاسِوَى
ذَلِكَ وَسْوَاسُ الشَّيَاطِيْنِ
"Semua ilmu selain
Al Qur'an (seperti ilmu kalam) hanyalah menyibukkan, selain hadits dan
mendalami agama.
Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya kata "telah
menyampaikan sebuah hadits kepada kami", sedangkan selain itu hanyalah
gangguan setan belaka."
Wallahu a'lam
Marwan bin Musa
Maraji’: Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah (Dr. Nashir bin
Abdul Karim Al 'Aql), Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Ust. Yazid bin
Abdul Qadir Jawas), Shifat shalatin Nabi (Syaikh Al Albani) dll.((wawasankeislaman.blogsp.com)bersambung insya Allah
mohon untuk penulisan SWT dan SAW pakai huruf arab. Sukron
BalasHapus