( Pelajaran Dari UUD 1945 Tentang Kebebasan Beribadah
Dan Mengamalkan Sesuai Dengan Agamanya)
Saat –saat ini baru santer-santernya orang “awam” menuduh suatu
masyarakat yang mengamalkan Sunah-Sunah Nabi dengan tuduhan sebagai “CIRI –
CIRI TERORIS” bahkan lebih tegas lagi, orang yang berpenampilan nyunah tersebut
(Jenggot panjang, celana cingkrang dll) langsung DIVONIS
SEBAGAI TERORIS.
Entah apa motifnya, apakah ingin mencari perhatian masyarakat / jama’ah
lain (karena alhamdulillah banyak juga masyarakat yang sudah paham tentang
Sunah Nabi), para penuduh itu mungkin takut tidak dapat simpatik atau pengikut
dari masyarakatnya lagi. Apapun
motifnya, yang jelas ini merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum yaitu Pencemaran Nama Baik dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia).
INDONESIA adalah negara hukum, atau sering
kita kenal dengan istilah rechsstaat (Pasal
1 ayat (3) UUD ’45). Begitulah amanat yang termaktub dalam dasar hukum negara
kita. Jika dilihat dari ciri-ciri fisik sebuah negara disebut negara hukum,
mayoritas syarat itu sudah kita capai. Kita memiliki sistem konstitusi dan
hukum dasar. Yaitu Indonesia menjadi negara hukum yang melindungi
segenap bangsa (warga) Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan
sosial.
Bicara tentang kesadaran hukum pada hakekatnya adalah bicara tentang
manusia secara umum, bukan bicara tentang manusia dalam lingkungan tertentu
atau manusia dalam profesi tertentu seperti Hakim, Jaksa,
Polisi dan sebagainya.
Kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita
lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat
terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita
masing-masing terhadap orang lain. Kesadaran hukum mengandung sikap tepo sliro atau toleransi. Kalau saya tidak mau diperlakukan demikian
oleh orang lain, maka saya tidak boleh memperlakukan orang lain demikian pula,
sekalipun saya sepenuhnya melaksanakan hak saya. Kalau saya tidak suka tetangga
saya berbuat gaduh di malam hari dengan membunyikan radionya keras-keras, maka
saya tidak boleh berbuat demikian juga. Tepo
sliro berarti bahwa seseorang harus mengingat, memperhatikan, memperhitungkan
dan menghormati kepentingan orang lain dan terutama tidak merugikan orang lain.
Penyalahgunaan hak atau abus de droit
seperti misalnya mengendarai sepeda motor milik sendiri yang diperlengkapi
dengan knalpot yang dibuat sedemikian sehingga mengeluarkan bunyi yang keras
sehingga memekakan (membuat budek)
telinga jelas bertentangan dengan sikap tepo
sliro.
Dalam instrumen hukum nasional Indonesia, kebebasan beragama diatur dalam Pasal 28
(e) ayat 2 dan Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 di mana disebutkan
bahwa : Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (Vide Pasal 28 (e) ayat 2 UUD
1945). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya,
dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Vide Pasal 29 ayat 2 UUD
1945). Instrumen hukum nasional tersebut
pada prinsipnya sudah cukup sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama
di Indonesia.
Sedangkan dalam instrument Hukum Internasional terdapat pada Pasal
18 Universal
Declaration of Human Right menyatakan : Setiap orang mempunyai hak
untuk berpikir, berperasaan, dan beragama;
hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan
kemerdekaan baik secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan
tertutup, untuk memperlihatkan agama dan
kepercayaannya dengan mengerjakannya, mempraktikkannya, menyembahnya, dan
mengamalkannya.
Berdasarkan
instrument hukum di atas, baik nasional maupun internasional, maka orang mau
memeluk dan mengamalkan agama, jenis agama, bentuk amalan maupun busana apa
saja harus dihormati dan diberi kebebasan. Begitu
juga sesuai konsep HAM (Hak Asasi
Manusia), setiap aliran harus diberi kebebasan dan tidak boleh dilarang apalagi
dihentikan penyebarannya secara paksa (*Kecuali ada peraturan khusus lain yang TELAH
JELAS MELARANGNYA). Siapa yang memaksa untuk menghentikan ajaran agama
semacam ini, apalagi dengan menggunakan kekerasan, maka mereka akan dicap sebagai pelanggar HAM, dan dapat diproses ke MEJA
HIJAU.
BERIKUT
INI DIANTARA ISI PASAL UUD 1945
Pasal 28A
Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. **
Pasal
28E
(1)
Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali. **)
(2)
Setiap orang atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya. **)
(3)
Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. **)
Pasal
28H
(1)
Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. **)
(2)
Setiap orang mendapat kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan. **)
(3)
Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat. **)
(4)
Setiap orang berhak mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapa pun. **)
Pasal 29
(1)
Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa.
(2)
Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu
PELAJARAN
DARI PASAL 310 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Tentang
PENCEMARAN NAMA BAIK (Menuduh Sesuatu)
Pasal 310 KUHP
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama
baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya
terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan,
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat dipidana
harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang TELAH melakukan perbuatan yang tertentu”, dengan maksud tuduhan itu
akan tersiar (diketahui orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu
suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti menuduh
mencuri, menuduh teroris, menuduh menggelapkan, menuduh berzinah, dan
sebagainya. Perbuatan tersebut cukup perbuatan biasa, yang sudah tentu
merupakan perbuatan yang memalukan, misalnya menuduh bahwa seseorang telah
berselingkuh. Dalam hal ini bukan perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi
cukup memalukan bagi yang berkepentingan bila diumumkan.
Menurut R. Soesilo, penghinaan dalam KUHP ada 6 macam yaitu : 1. menista secara lisan (smaad); 2. menista dengan surat/tertulis
(smaadschrift); 3. memfitnah
(laster); 4. penghinaan ringan
(eenvoudige belediging); 5. mengadu
secara memfitnah alias tanpa bukti (lasterlijke aanklacht); 6. tuduhan secara memfitnah
(lasterlijke verdachtmaking).
Semua penghinaan di atas hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang
menderita/dinista/dihina/dituduh (delik
aduan).
Maka saudaraku, jangan mudah menuduh seseorang berbuat sesuatu, yang
tidak ia lakukan. Bisa-bisa anda akan dilaporkan ke pihak yang berwajib atas
tuduhan – tuduhan tanpa bukti tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar