Blog ini adalah hanya blog Pribadi & informasi. Tidak ada kaitannya SECARA ORGANISATORIS dengan Komunitas FKIW AL UKHUWAH Wonogiri

Selasa, 19 Maret 2013

Niat dalam ibadah

بسم الله الرحمن الرحيم
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diperolehnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai niat hijrahnya.” (HR. Bukhari)
Syarh (penjelasan)
Imam Bukhari menyebutkan hadits ini di awal kitab shahihnya sebagai mukaddimah kitabnya, di sana tersirat bahwa setiap amalan yang tidak diniatkan karena mengharap Wajah Allah adalah sia-sia, tidak ada hasil sama sekali baik di dunia maupun di akhirat.
Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa hadits ini sepertiga Islam. Mengapa demikian?
Jawab:
Menurut Imam Baihaqi, karena tindakan seorang hamba itu terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya, dan niat yang tempatnya di hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut dan yang paling utama.
Menurut Imam Ahmad adalah karena ilmu itu berdiri di atas tiga ka’idah, di mana semua masalah kembali kepadanya, yaitu:
Pertama, hadits Innamal a’maalu bin niyyah (Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya).
Kedua, hadits Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd (Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka amalan itu tertolak).
Ketiga, hadits Al Halaalu bayyin wal haraamu bayyin (Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas).”
Di samping itu, niat adalah tolok ukur suatu amalan; diterima atau tidaknya tergantung niat dan banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung niat.
Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membuatkan perumpamaan untuk niat dengan amalan hijrah, yakni barang siapa yang berhijrah dari negeri syirk mengharapkan pahala Allah, ingin bertemu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menimba ilmu syari’at agar bisa mengamalkannya, maka berarti ia berada di atas jalan Allah (Fa hijratuhuu ilallah wa rasuulih), dan Allah akan memberikan balasan untuknya. Dan jika sesesorang berhijrah dengan niat untuk mendapatkan keuntungan duniawi, maka dia tidak mendapatkan pahala apa-apa, bahkan bila ke arah maksiat, ia akan memperoleh azab.
Ta’rif (definisi) niat
Niat secara istilah artinya keinginan seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya di hati bukan di lisan. Menurut para fuqaha’ (ahli fiqh), niat memiliki dua makna:
a.  Tamyiiz (pembeda), hal ini ada dua macam:
-       Pembeda antara ibadah yang satu dengan lainnya. Misalnya antara shalat fardhu dengan shalat sunnah, shalat zhuhur dengan shalat ‘Ashar, puasa wajib dengan puasa sunat, dsb.
-       Pembeda antara kebiasaan dengan ibadah. Misalnya mandi untuk mendinginkan badan dengan mandi karena janabat, menahan diri dari makan untuk kesembuhan dengan menahan diri dari makan karena puasa.
b.  Qasd (meniatkan suatu amalan karena apa atau karena siapa).
      Yakni apakah suatu amal ditujukan karena mengharap wajah Allah Ta’ala saja  (ikhlas) atau karena lainnya, atau apakah ia mengerjakannya karena Allah, juga karena lainnya atau bagaimana.
Pendapat ulama salaf tentang pentingnya niat dan pentingnya mempelajari niat
Yahya bin Katsir berkata, “Pelajarilah niat, karena niat itu lebih sampai daripada amal.”
Abdullah bin Abi Jamrah berkata, “Aku ingin kalau seandainya di antara fuqaha ada yang kesibukannya hanya mengajarkan kepada orang-orang niat mereka dalam mengerjakan suatu amal dan hanya duduk mengajarkan masalah niat saja.”
Sufyan Ats Tsauriy berkata, “Dahulu orang-orang mempelajari niat sebagaimana kalian mempelajari amal.”
Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Katsir di atas bahwa niat lebih sampai daripada amal, oleh karena itu Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu dapat mengungguli orang-orang Khawarij (kelompok yang keluar dari barisan kaum muslimin dan memvonis kafir pelaku dosa besar) dalam hal ibadah karena niatnya, di samping itu amalan yang kecil akan menjadi besar karena niatnya. Sehingga dikatakan “Memang Abu Bakr Ash Shiddiq dan sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dikalahkan ibadahnya oleh Khawarij, tetapi para sahabat mengungguli mereka dengan niatnya.”
Masalah-masalah seputar niat
1.  Mengikhlaskan amalan karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam yang menodai keikhlasan adalah cara taqarrub (pendekatan diri kepada Allah) Ta’ala yang paling baik.
2.  Syarat diterimanya ibadah ada dua; ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), jika salah satunya tidak ada maka amalan tersebut tertolak, ibarat burung yang butuh terbang dengan dua sayap.
3.  Banyaknya maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan shalatnya ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, demikian juga mengharapkan ketentraman batin dan dada yang lapang.
4.  Niat yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’adat) menjadi ibadah. Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan dan kenikmatan, ia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan menyudahinya dengan memuji Allah, ia pun meniatkan dengan makannya itu agar bisa menjalankan keta’atan kepada-Nya.
     Ibnul Qayyim dan ulama yang lain berkata, “Orang-orang yang ‘aarif (mengenal Allah) itu perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.”
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Barang siapa yang ingin amalnya menjadi sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada seorang hamba jika ia memperbagus niatnya meskipun pada saat ia menyuap makanan.”
5.  Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi keta’atan meskipun niatnya baik. Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya untuk membantu orang-orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah bukan yang haram.
6.  Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah namun ada juga tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi pahala keikhlasan. Misalnya:
-    Ketika melakukan thaharah (bersuci), disamping niatnya beribadah kepada Allah, ia juga berniat untuk membersihkan badan.
-    Puasa disamping untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk diet.
-    Menunaikan ibadah hajji disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus untuk melihat tempat-tempat bersejarah atau untuk bertamasya.
-    Shalat malam di samping untuk beribadah kepada Allah sekaligus agar bisa lulus ujian atau usahanya berhasil.
-    Menjenguk orang sakit disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus agar ia dijenguk pula jika sakit.
-    I’tikaf di masjid disamping ibadah kepada Allah sekaligus agar ringan biaya kontrak (sewa) tempat atau untuk melepas kelelahan mengurus keluarga.
Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia bisa tidak memperoleh balasan di akhirat, tetapi hanya memperoleh balasan di dunia, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya.
Mungkin timbul pertanyaan, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”
Jawab: “Caranya adalah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan bila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
Jika ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, berniat untuk beribadah kepada Allah dengan tujuan yang lain yang ternyata beratnya sama, maka menurut pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwa orang tersebut tidak mendapat apa-apa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berikut:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ
Bahwa ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
7.  Jika seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia. Misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan), juga terancam ayat:
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.--Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (terjemah Huud: 15-16)
8.  Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyaadh berkata, "Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”
Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amalan karena manusia adalah riya’ juga.”
Untuk para penghapal Al Qur’an
1.  Memperbagus suara ketika membaca Al Qur’an ketika ada yang mendengarkan adalah mustahab (sunnah) dengan syarat si pembaca niatnya agar si pendengar merasa rindu dengan Al Qur’an dan mendorongnya untuk memperhatikan dan mentadabburi Al Qur’an, syaratnya juga jangan sampai si pembaca membacanya melewati ketentuan tajwid di mana hal itu dianggap tidak baik dalam bacaan. Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
     “Hiasilah Al Qur’an dengan suaramu.” (HR. Nasa’i)
2.  Imam Nawawiy berkata, “Dan diantara hal yang diperintahkan –yakni kepada para pemikul Al Qur’an (seperti penghapalnya)- adalah bersikap hati-hati sekali jangan sampai menjadikan Al Qur’an sebagai mata pencahariannya, telah datang riwayat dari Abdurrahman bin Syibl radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “
اِقْرَؤُا اْلقُرْانَ وَلاَ تَأْكُلُواْ بِهِ وَلاَ تَجْفُوْا عَنْهُ وَلاَ تَغْلُوْا فِيْهِ
“Bacalah Al Qur’an, janganlah makan darinya, janganlah menjauh dari membacanya dan janganlah melampaui batas di dalamnya.” (HR. Thabrani dalam Al Kabir, Abu Ya’la, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan dishahihkan oleh Al Arnaa’uth)
Maksud “melampaui batas di dalamnya” bisa melewati batas dalam lafaznya, bisa juga melampaui batas dalam maknanya yakni dengan menafsirkan dengan tafsir yang batil, bisa juga maksudnya "Jangan sampai kamu berlebihan dalam membacanya sampai kamu meninggalkan ibadah yang lain (termasuk dalam hal ini mengkhatamkan Al Qur’an kurang dari tiga hari)."
3.  Bagaimana kalau seseorang mengajar Al Qur’an dan meminta upah terhadapnya, ia mengajarkan Al Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i lainnya sedangkan niat asalnya dalam melakukan hal ini adalah sebagai ketaatan kepada Allah Ta’ala, meskipun ia tidak diberi upah terhadapnya?
Jawab: Pendapat yang rajih adalah bahwa orang ini tidak terkena ancaman di surat Huud: 15-16, apabila niat asalnya itu tidak untuk mendapatkan perhiasan dunia, di mana hatinya tidak peduli mau diberi atau tidak. Sama saja dalam hal ini adalah imam masjid, muazin dsb. Dalilnya adalah hadits berikut:
عَنْ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ * (البخاري)
Dari Umar, ia berkata: “Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam memberiku sebuah pemberian, lalu aku katakan, “Berikanlah kepada orang yang lebih butuh dariku.” Maka Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah harta ini. Apabila harta datang kepadamu, sedangkan kamu tidak mengharapkannya serta tidak meminta-minta, maka ambillah. Namun jika tidak begitu, maka janganlah kamu memperturutkan hawa nafsumu.”
Wallahu a’lam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Mabaahits fin niyyah (Syaikh Shalih bin Muhammad Al ‘Ulyawiy), Taisiirul ‘Allam (Syaikh Abdullah Al Bassam), Majalah As Sunnah (tulisan Ust. Yazid bin A.Q Jawas tentang niat), Faidhul Qadir (Imam Al Manaawiy) dll.

0 komentar:

Posting Komentar