بسم الله الرحمن الرحيم
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ
“Amal itu tergantung
niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diperolehnya atau
karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai niat
hijrahnya.” (HR. Bukhari)
Syarh
(penjelasan)
Imam Bukhari menyebutkan
hadits ini di awal kitab shahihnya sebagai mukaddimah kitabnya, di sana
tersirat bahwa setiap amalan yang tidak diniatkan karena mengharap Wajah Allah
adalah sia-sia, tidak ada hasil sama sekali baik di dunia maupun di akhirat.
Mayoritas ulama salaf
berpendapat bahwa hadits ini sepertiga Islam. Mengapa demikian?
Jawab:
Menurut Imam Baihaqi, karena tindakan
seorang hamba itu terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya, dan niat
yang tempatnya di hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut dan yang paling
utama.
Menurut Imam Ahmad
adalah karena ilmu itu berdiri di atas tiga ka’idah, di mana semua masalah
kembali kepadanya, yaitu:
Pertama, hadits
Innamal a’maalu bin niyyah (Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya).
Kedua, hadits Man
‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd (Barang siapa yang mengerjakan
suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka amalan itu tertolak).
Ketiga,
hadits Al Halaalu bayyin wal haraamu bayyin (Yang halal itu jelas dan
yang haram itu jelas).”
Di samping itu, niat
adalah tolok ukur suatu amalan; diterima atau tidaknya tergantung niat dan
banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung niat.
Pada hadits di atas
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
membuatkan perumpamaan untuk niat dengan amalan hijrah,
yakni barang siapa yang berhijrah dari negeri syirk mengharapkan pahala Allah,
ingin bertemu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menimba ilmu syari’at
agar bisa mengamalkannya, maka berarti ia berada di atas jalan Allah (Fa
hijratuhuu ilallah wa rasuulih), dan Allah akan memberikan balasan untuknya.
Dan jika sesesorang berhijrah dengan niat untuk mendapatkan keuntungan duniawi,
maka dia tidak mendapatkan pahala apa-apa, bahkan bila ke arah maksiat, ia akan
memperoleh azab.
Ta’rif (definisi) niat
Niat secara istilah artinya keinginan
seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya di hati bukan di lisan. Menurut
para fuqaha’ (ahli fiqh), niat memiliki dua makna:
a.
Tamyiiz
(pembeda), hal ini ada dua macam:
- Pembeda antara ibadah
yang satu dengan lainnya.
Misalnya antara shalat fardhu dengan shalat sunnah, shalat zhuhur dengan shalat
‘Ashar, puasa wajib dengan puasa sunat, dsb.
- Pembeda antara kebiasaan
dengan ibadah. Misalnya mandi untuk
mendinginkan badan dengan mandi karena janabat, menahan diri dari makan untuk
kesembuhan dengan menahan diri dari makan karena puasa.
b.
Qasd (meniatkan suatu amalan karena apa atau karena siapa).
Yakni apakah suatu amal ditujukan karena
mengharap wajah Allah Ta’ala saja
(ikhlas) atau karena lainnya, atau apakah ia mengerjakannya karena
Allah, juga karena lainnya atau bagaimana.
Pendapat ulama salaf tentang pentingnya niat dan pentingnya
mempelajari niat
Yahya bin Katsir
berkata, “Pelajarilah niat, karena niat itu lebih sampai daripada amal.”
Abdullah bin Abi Jamrah
berkata, “Aku ingin kalau seandainya di antara fuqaha ada yang kesibukannya
hanya mengajarkan kepada orang-orang niat mereka dalam mengerjakan suatu amal
dan hanya duduk mengajarkan masalah niat saja.”
Sufyan
Ats Tsauriy berkata, “Dahulu orang-orang mempelajari niat sebagaimana kalian
mempelajari amal.”
Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Katsir
di atas bahwa niat lebih sampai daripada amal, oleh karena itu Abu Bakr Ash
Shiddiq radhiyallahu 'anhu dapat mengungguli orang-orang Khawarij (kelompok
yang keluar dari barisan kaum muslimin dan memvonis kafir pelaku dosa besar)
dalam hal ibadah karena niatnya, di samping itu amalan yang kecil akan menjadi
besar karena niatnya. Sehingga dikatakan “Memang Abu Bakr Ash Shiddiq dan
sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dikalahkan ibadahnya
oleh Khawarij, tetapi para sahabat mengungguli mereka dengan niatnya.”
Masalah-masalah seputar niat
1.
Mengikhlaskan amalan
karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam yang
menodai keikhlasan adalah cara taqarrub (pendekatan diri kepada Allah) Ta’ala
yang paling baik.
2.
Syarat
diterimanya ibadah ada dua; ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti
contoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), jika salah satunya tidak ada
maka amalan tersebut tertolak, ibarat burung yang butuh terbang dengan dua
sayap.
3.
Banyaknya
maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh.
Misalnya seseorang melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya,
mengharap juga dengan shalatnya ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, demikian
juga mengharapkan ketentraman batin dan dada yang lapang.
4.
Niat
yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’adat) menjadi ibadah.
Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya
kepada dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang
lain tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam
keamananan dan kenikmatan, ia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah)
dan menyudahinya dengan memuji Allah, ia pun meniatkan dengan makannya itu agar
bisa menjalankan keta’atan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim dan ulama yang lain berkata, “Orang-orang
yang ‘aarif (mengenal Allah) itu perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi
ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai
kebiasaan.”
Sebagian
ulama salaf mengatakan, “Barang siapa yang ingin amalnya menjadi sempurna,
maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada seorang hamba
jika ia memperbagus niatnya meskipun pada saat ia menyuap makanan.”
5.
Perbuatan
maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi keta’atan meskipun niatnya baik.
Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya untuk membantu
orang-orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini
adalah pelaku maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu
perbuatan tidak bisa menjadi ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila
perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah bukan yang haram.
6.
Seseorang
yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah namun ada juga
tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi pahala
keikhlasan. Misalnya:
- Ketika melakukan thaharah (bersuci), disamping niatnya beribadah
kepada Allah, ia juga berniat untuk membersihkan badan.
- Puasa disamping untuk mendekatkan diri kepada Allah
sekaligus untuk diet.
- Menunaikan ibadah hajji disamping untuk beribadah kepada
Allah sekaligus untuk melihat tempat-tempat bersejarah atau untuk bertamasya.
- Shalat malam di samping untuk beribadah kepada Allah
sekaligus agar bisa lulus ujian atau usahanya berhasil.
- Menjenguk orang sakit disamping untuk beribadah kepada
Allah sekaligus agar ia dijenguk pula jika sakit.
- I’tikaf di masjid disamping ibadah kepada Allah sekaligus
agar ringan biaya kontrak (sewa) tempat atau untuk melepas kelelahan mengurus
keluarga.
Namun
apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia bisa tidak
memperoleh balasan di akhirat, tetapi hanya memperoleh balasan di dunia, bahkan
dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang
mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia
yang rendah nilainya.
Mungkin
timbul pertanyaan, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak
tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”
Jawab:
“Caranya adalah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja,
berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar
tertuju kepada ibadah, dan bila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
Jika
ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, berniat untuk beribadah kepada
Allah dengan tujuan yang lain yang ternyata beratnya sama, maka menurut
pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwa orang tersebut tidak
mendapat apa-apa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berikut:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ
Bahwa
ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin
berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”. (HR.
Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
7.
Jika
seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia. Misalnya
menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar
digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan
terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan), juga terancam ayat:
“Barang
siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan.--Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (terjemah
Huud: 15-16)
8.
Seseorang
tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyaadh berkata,
"Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena
manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”
Maksudnya
adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula
meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amalan karena manusia adalah riya’
juga.”
Untuk
para penghapal Al Qur’an
1. Memperbagus suara ketika membaca Al Qur’an ketika ada
yang mendengarkan adalah mustahab (sunnah) dengan syarat si pembaca niatnya agar
si pendengar merasa rindu dengan Al Qur’an dan mendorongnya untuk memperhatikan
dan mentadabburi Al Qur’an, syaratnya juga jangan sampai si pembaca membacanya
melewati ketentuan tajwid di mana hal itu dianggap tidak baik dalam bacaan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
“Hiasilah Al Qur’an dengan suaramu.” (HR.
Nasa’i)
2. Imam Nawawiy berkata, “Dan diantara hal yang
diperintahkan –yakni kepada para pemikul Al Qur’an (seperti penghapalnya)-
adalah bersikap hati-hati sekali jangan sampai menjadikan Al Qur’an sebagai
mata pencahariannya, telah datang riwayat dari Abdurrahman bin Syibl
radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “
اِقْرَؤُا اْلقُرْانَ وَلاَ
تَأْكُلُواْ بِهِ وَلاَ تَجْفُوْا عَنْهُ وَلاَ تَغْلُوْا فِيْهِ
“Bacalah Al Qur’an, janganlah makan darinya, janganlah
menjauh dari membacanya dan janganlah melampaui batas di dalamnya.” (HR.
Thabrani dalam Al Kabir, Abu Ya’la, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan
dishahihkan oleh Al Arnaa’uth)
Maksud “melampaui batas di dalamnya” bisa melewati
batas dalam lafaznya, bisa juga melampaui batas dalam maknanya yakni dengan
menafsirkan dengan tafsir yang batil, bisa juga maksudnya "Jangan sampai
kamu berlebihan dalam membacanya sampai kamu meninggalkan ibadah yang lain
(termasuk dalam hal ini mengkhatamkan Al Qur’an kurang dari tiga hari)."
3. Bagaimana kalau seseorang mengajar Al Qur’an dan meminta
upah terhadapnya, ia mengajarkan Al Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i lainnya
sedangkan niat asalnya dalam melakukan hal ini adalah sebagai
ketaatan kepada Allah Ta’ala, meskipun ia tidak diberi upah terhadapnya?
Jawab: Pendapat
yang rajih adalah bahwa orang ini tidak terkena ancaman di surat Huud: 15-16, apabila niat asalnya
itu tidak untuk mendapatkan perhiasan dunia, di mana hatinya tidak peduli
mau diberi atau tidak. Sama saja dalam hal ini adalah imam masjid, muazin dsb.
Dalilnya adalah hadits berikut:
عَنْ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ
مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ
مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ * (البخاري)
Dari
Umar, ia berkata: “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam memberiku sebuah pemberian, lalu aku
katakan, “Berikanlah kepada orang yang lebih butuh dariku.” Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Ambillah harta ini. Apabila harta datang kepadamu, sedangkan kamu
tidak mengharapkannya serta tidak meminta-minta, maka ambillah. Namun jika
tidak begitu, maka janganlah kamu memperturutkan hawa nafsumu.”
Wallahu a’lam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Mabaahits fin niyyah (Syaikh Shalih bin Muhammad Al
‘Ulyawiy), Taisiirul ‘Allam (Syaikh Abdullah Al Bassam), Majalah As Sunnah
(tulisan Ust. Yazid bin A.Q Jawas tentang niat), Faidhul Qadir (Imam Al
Manaawiy) dll.
0 komentar:
Posting Komentar